Membuka Jalan Politik bagi Masyarakat Adat

Ilustrasi alam
Ilustrasi alam
Sumber :
  • Pexels/Najafi Photos

NTT ViVa– “Negara tidak hadir di tanah kami kecuali ketika ada investasi.” Kalimat itu terucap lirih dari seorang tetua adat di pedalaman Kalimantan. Sebuah pernyataan sederhana namun menyimpan luka panjang, sekaligus menggambarkan betapa timpangnya relasi antara negara dan masyarakat adat di republik ini.

Selama puluhan tahun, masyarakat adat hanya menjadi penonton dalam panggung demokrasi elektoral. Dalam pilkada, tak ada ruang afirmatif untuk memastikan kehadiran mereka dalam kontestasi politik. Berbeda dengan pemilu legislatif yang telah membuka celah melalui mekanisme reserved seats, sistem pilkada kita masih murni mengandalkan kompetisi terbuka. Tanpa jalur khusus, figur-figur adat kerap tersingkir karena terbatasnya akses pada partai politik, sumber daya, dan logika elektabilitas.

Dalam banyak kasus, proses pencalonan kepala daerah sepenuhnya dikendalikan partai politik, yang lebih memilih kandidat dengan modal politik dan finansial kuat, daripada mereka yang membawa mandat dari hutan, air, dan leluhur.

Gender dan Etnis: Afirmasi yang Tak Setara

Diskursus tentang afirmasi politik lebih sering menyoroti isu representasi perempuan, dan itu adalah kemajuan penting. Namun, mengapa kesadaran serupa belum menjangkau masyarakat adat?

Seperti diungkap oleh Htun (2004), perbedaan sosiologis antara gender dan etnis perlu menjadi pijakan. Gender bersifat crosscutting, tersebar di semua partai, sehingga lebih mudah diberikan kuota dalam partai politik. Sementara etnisitas, termasuk masyarakat adat, bersifat coinciding, erat dengan politik identitas, dan lebih tepat diwakili melalui mekanisme reserved seats.

Kebijakan afirmatif berbasis kuota bisa menjadi awal, tetapi tidak cukup. Dalam banyak kasus, figur adat yang berhasil masuk ke parlemen melalui kuota partai justru lebih loyal kepada partainya ketimbang komunitasnya. Hal ini terlihat jelas di Peru, ketika calon dari wilayah adat seperti Quispicanchi dan Bagua tak banyak mengadvokasi isu-isu adat karena tunduk pada garis partai.