Deflasi dan Dapur yang Kehilangan Api: Saat Ekonomi Membisu, Siapa yang Akan Menjawab?
- Bing AI Creator
NTT ViVa– Angka deflasi yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2 Juni 2025 seolah membawa kabar baik: harga barang turun, inflasi terkendali, dan stabilitas tampak terjaga. Namun, benarkah itu makna yang sesungguhnya? Atau barangkali angka-angka itu hanyalah kabut yang menutupi luka dalam tubuh ekonomi nasional yang kian tak berdaya?
Di permukaan, penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 0,03 persen terlihat seperti prestasi. Tetapi jika kita telisik lebih dalam, di balik turunnya harga-harga, ada bisu yang menyelimuti pasar, ada kantong rakyat yang menipis, dan ada dapur rumah tangga yang kehilangan nyala api. Deflasi kali ini bukan cerminan efisiensi produksi atau limpahan pasokan. Ia adalah potret sendu dari permintaan yang melemah, dari masyarakat yang mulai takut membeli, dan dari keyakinan yang terkikis perlahan.
Dompet Sunyi dan Rakyat yang Menahan Napas
Dari sebelas kelompok pengeluaran yang dicatat BPS, sembilan justru menyumbang deflasi. Kelompok makanan dan minuman menjadi penyumbang tertinggi, dengan angka 0,41 persen. Ini bukan tanda bahwa harga-harga menjadi bersahabat. Ini adalah alarm bahwa daya beli rakyat makin tipis, bahwa mereka kini lebih memilih menahan lapar daripada menambah beban pengeluaran.
Makanan adalah kebutuhan paling primer. Ketika harganya turun tetapi tidak disambut oleh peningkatan konsumsi, maka itu bukan keberuntungan, melainkan peringatan. Tidak ada gairah untuk berbelanja bukan karena kebutuhan telah terpenuhi, tetapi karena uang tak lagi tersedia. Di negeri yang lebih dari separuh Produk Domestik Bruto-nya digerakkan oleh konsumsi rumah tangga, deflasi semacam ini adalah kabar duka yang dibungkus statistik.
Yang menakutkan bukan hanya angka-angka itu sendiri, tetapi makna di baliknya: rakyat sedang menahan napas, menunda keinginan, dan mencicil harapan.
PHK dan Ketidakpastian: Lingkaran yang Mencekik