Kontraksi Ekonomi dan Runtuhnya Pilar Konsumsi: Saat Angka Menenangkan Tapi Rakyat Menjerit
- Freepik AI
NTT ViVa– Dalam gemuruh euforia politik pascapemilu dan narasi keberhasilan program populis, data pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2025 menyodorkan kenyataan yang membekukan. PDB nasional tercatat tumbuh 4,87 persen secara tahunan (year-on-year) angka yang di permukaan tampak menenteramkan. Namun di sisi lain, kontraksi 0,98 persen secara kuartalan (quarter-to-quarter) justru membisikkan kecemasan yang lebih dalam: ekonomi kita sedang kelelahan.
Seperti seorang pelari maraton yang tersenyum pada kamera, namun napasnya sesungguhnya nyaris habis, perekonomian Indonesia tampaknya mulai kehilangan tenaga untuk menopang dirinya sendiri. Dan ketika pilar utama pertumbuhan, yakni konsumsi rumah tangga, mulai limbung, maka ini bukan hanya masalah statistik. Ini adalah peringatan keras bahwa fondasi sosial ekonomi kita mulai retak dari dalam.
Konsumsi yang Melemah, Harapan yang Mengendur
Konsumsi rumah tangga menyumbang 54,53 persen terhadap PDB Indonesia pada kuartal pertama 2025. Tapi pertumbuhannya yang hanya 0,55 persen (q-to-q) dan 4,89 persen (y-on-y) terendah dalam lima kuartal terakhir menggambarkan realitas yang getir: rakyat mulai mengencangkan ikat pinggang, bukan karena hemat, tetapi karena terpaksa.
Lebih ironis lagi, pelemahan ini terjadi di tengah Ramadan, bulan yang biasanya menjadi musim panen bagi sektor konsumsi. Ketika momen religius sekaliber Ramadan pun gagal menyulut gairah belanja, maka ada yang benar-benar tidak beres dalam arsitektur ekonomi domestik kita.
Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia mencatat kontraksi hampir di semua kategori: dari makanan pokok hingga perlengkapan rumah tangga. Ini bukan semata-mata soal harga. Ini soal kantong yang mulai kosong, soal penghasilan yang stagnan, soal rasa takut kehilangan pekerjaan.
Dan ketika deflasi terjadi seperti yang tampak pada Februari 2025 dengan angka minus 0,09 persen masalahnya bukanlah kelebihan pasokan, tetapi kekeringan permintaan. Dalam ekonomi, harga yang turun namun permintaan tak kunjung naik adalah gejala dari kantong yang tak lagi berdaya.