Pemisahan Pemilu: Harapan Demokrasi Tanpa Mabuk Konstitusi?

Banner pemilu dipisah.
Sumber :
  • Yohanes. M

NTT ViVa– Ketika Mahkamah Konstitusi menetapkan Putusan Nomor 135/PUU‑XXII/2024, mereka telah membuka halaman baru dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia. Keputusan ini memisahkan Pemilu Nasional yang meliputi pemilihan Presiden, DPR, dan DPD dengan Pemilu Lokal meliputi kepala daerah dan DPRD dengan jeda antara 2 hingga 2,5 tahun setelah pelantikan nasional.

Demokrasi yang Diperjualbelikan: Ikhtiar Merevisi UU Pemilu untuk Memutus Mata Rantai Politik Uang

Di permukaan, keputusan MK ini tampak sebagai jawaban atas beban berat penyelenggaraan pemilu serentak. Berbagai pengamat mencatat bahwa tahapan yang berimpitan telah memakan korban petugas KPPS, Pengawas TPS hingga relawan sampai meninggal karena tekanan tak tertahankan. MK merujuk hal ini sebagai dampak nyata dari “political fatigue”, yang mencederai kualitas demokrasi kita.

Meskipun dukungan datang dari banyak kalangan, kritik tajam juga muncul. Partai politik seperti NasDem, PKS, dan Gerindra berpendapat bahwa MK telah melompat pagar kewenangan, memainkan peran pembuat undang-undang, bukan sekadar pengawal konstitusi. Zainudin, dari PKS, bahkan menuding bahwa langkah ini berpotensi memperpanjang masa jabatan DPRD di level daerah sehingga inkonstitusional dalam interpretasi Pasal 22E UUD 1945.

Selamat Tinggal "Pemilu 5 Kotak": Mulai 2029, Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah

Gerindra, dalam nada hati-hati, menyarankan bahwa implementasi putusan ini harus didahului kajian komprehensif agar tak melemahkan demokrasi dan tak bertentangan dengan UUD 1945. Kritikus dari kalangan akademisi pun menunjuk kekonyolan regulasi semacam itu: meski MK pernah membolehkan enam model keserentakan dalam Putusan 55/PUU-XVII/2019, kali ini mereka justru membatasi model tersebut yang kemudian disebut “paradoks MK”.

Kontras dengan klaim inkonstitusional itu, ahli tata negara Bivitri Susanti membela langkah MK: bahwa pemisahan ini adalah bagian dari tugas konstitusional MK menafsirkan norma sesuai dinamika hasil kajian yuridis. Selain itu, MK bukan menetapkan UUD baru, melainkan menafsirkan UU Pemilu agar selaras dengan konteks terkini.

Pemilu Pisah Tahun 2029, Demokrasinya Indonesia Makin Oke?

Ia mengatakan: “Kalau dikatakan putusan MK itu melanggar konstitusi, saya tidak setuju. Apa yang mereka lakukan masih dalam tugas konstitusional mereka.”

Dengan demikian, narasi MK yang berdiri sendiri sebagai lembaga netral ditantang oleh keragamaan interpretasi; yang satu melihat sebagai penjaga hukum, yang lain menuding mereka sebagai pemain politik.

Halaman Selanjutnya
img_title