Ketika Uskup Budi Kleden dan Warga Poco Leok Satu Suara Tolak Geotermal

Uskup Agung Ende, Mgr.Paul Budi Kleden
Sumber :
  • Tangkapan Vido Cosmos yang Beredar

NttUskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, menyampaikan secara tegas menolak eksplorasi geotermal di wilayah Keuskupan Agung Ende.

Melalui cuplikan video yang viral di media sosial, Mgr. Kleden berpidato menyinggung dampak negatif pengeboran panas bumi.

Ia menyampaikan, eksplorasi geotermal yang dilakukan PT PLN (Persero) membawa ancaman kerusakan lingkungan yang signifikan sebagaimana yang ditakutkan masyarakat dalam radius terdampak.

“Setelah mendengar berbagai kesaksian dari sejumlah orang di Sokoria juga dari Mataloko dan pembicaraan dengan sejumlah imam, saya menentukan sikap menolak geotermal di sejumlah titik yang sudah diidentifikasi di ketiga kevikepan kita,” demikian disampaikan Uskup Budi Kleden dalam rekaman video yang ditonton, Sabtu 11 Januari 2025.

 “Ya sejumlah lokasi di tiga kevikepan sudah ditandai sebagai pusat geotermal. Maka kita perlu mendorong resistensi dari umat dan masyarakat dengan berikan perhatian dan berikan informasi kepada mereka. Baik yang ilmiah maupun dan ini sangat penting kesaksian dari orang-orang Sokoria dan Mataloko,” tambahnya.

Berdasarkan informasi dari seorang pastor, video tersebut diambil saat pertemuan Natal Bersama Para Imam se-Keuskupan Agung Ende (KAE) pada Senin, 6 Januari 2025 di Ndona.

Uskup yang ditahbiskan pada 22 Agustus 2024 itu menyatakan bahwa penolakan akan kehadiran geotermal adalah sikap resmi Gereja Katolik merespons keluhan warga.

Di Mataloko, misalnya, proyek yang dikerjakan sejak lebih dari dua dekade lalu itu gagal berulang kali dengan lubang-lubang bekas pengeboran kini mengeluarkan lumpur yang merusak lahan pertanian warga.

Sementara di Sokoria, dampaknya antara lain mengeringnya mata air di dekat perkampungan pasca proyek itu beroperasi.

Di Mataloko, pengeboran yang dilakukan tanpa perencanaan matang telah menyebabkan lumpur panas meluber dari banyak titik sehingga merusak lahan pertanian dan tanaman warga.

Hal serupa terjadi di Sokoria, Desa Sokoria, Kabupaten Ende di mana tanaman kopi senagai komoditas andalan warga dilaporkan mengering dan mati.

Superior General SVD (2018-2024) itu mengatakan bahwa eksplorasi di sejumlah lokasi yang meliputi Kevikepan Bajawa, Mbay, dan Ndona, telah menunjukkan dampak negatif bagi ruang kehidupan masyarakat.

Kevikepan jangan tinggal diam

Sebagai respons atas situasi ini, Uskup Budi meminta para imam di setiap kevikepan untuk tidak tinggal diam tapi mengambil peran aktif dalam memberikan edukasi kepada umat tentang bahaya eksplorasi geotermal.

“Saya meminta supaya supaya di tingkat kevikepan kita berbicara tentang tema ini.Selain itu diharapkan agar yayasan bantuan hukum kita membantu kita dalam proses ini,” tekan Monsinyur Budi.

Keuskupan Agung Ende juga berencana mengadakan kajian ilmiah untuk memperkuat resistensi umat terhadap eksplorasi geotermal yang merugikan. Kajian ini akan melibatkan pakar geologi, pemerintah, aktivis lingkungan, serta tokoh adat dan masyarakat.

Langkah ini diambil untuk memberikan pemahaman yang mendalam, baik secara ilmiah maupun berdasarkan fakta lapangan.

Uskup Budi menegaskan, penolakan eksplorasi geotermal oleh Keuskupan Agung Ende menjadi langkah nyata gereja untuk memastikan lingkungan tetap lestari dan kehidupan umat terlindungi.

Masyarakat Poco Leok dan JPIC melawan!

Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2268 K/30/MEM/2017 menetapkan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi atau “Flores Geothermal Island”. Sebutan ini menambah julukan Flores ‘Pulau Bunga’.

Pulau Flores memiliki potensi geothermal yang cukup besar, hampir 1.000 Megawatt (MW) dengan cadangan sebesar 402,5 MW yang tersebar di 16 titik. Salah satu potensi besarnya ada di kawasan Poco Leok Kabupaten Manggarai.

Untuk diketahui, PT PLN Persero hingga 2027 nanti mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu unit 5-6 Poco Leok berkapasitas 2×20 MW di wilayah Poco Leok di Kecamatan Satar Mese.

Proyek yang dimulai tahun 2023 ini merupakan pengembangan dari eksploitasi sumur panas bumi PLTP Ulumbu yang eksisting berkapasitas 10 MW yang beroperasi sejak 2012 lalu. Unit 5 dan 6 Poco Leok perluasan dari PLTP Ulumbu unit 1,2,3 dan 4.

Pengembangan PLTP Ulumbu di Poco Leok 2×20 MW berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN) pada Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dilaksanakan PT. PLN (Persero).

Proyek ini bakal menelan biaya Rp10 triliun dibiayai dana pinjaman Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) di mana bank tersebut belum melanjutkan kerja sama dengan PT PLN karena faktor sensifitas isu kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM. 

 

Aksi demonstrasi tolak geotermal Poco Leok

Photo :
  • Jo Kenaru

 

Proyek berjalan ditengah penolakan

Proyek pembangunan pembangkit listrik panas bumi (PLTP) di Poco Leok terus berjalan di tengah penolakan masyarakat.

Sejauh ini Bupati Manggarai Heribertus Geradus Laju Nabit telah menerbitkan Surat Keputususan Penetapan Lokasi (Penlok) tahap II untuk pengembangan proyek PLTP Poco Leok yang artinya pengeboran panas bumi makin dekat.

Dalam catatan ViVa, setidaknya sudah 27 kali masyarakat melakukan aksi demo di lokasi pengeboran.

Kekerasan terhadap masyarakat oleh kepolisian terjadi berulang kali termasuk polisi juga melukai jurnalis yang getol memberitakan konflik Poco Leok.

Masyarakat adat Poco Leok yang terdiri dari 14 Gendang (rumah adat) sejak awal menyatakan sikap menolak keras rencana perluasan proyek PLTP Ulumbu karena khawatir proyek ini akan menghilangkan tanah yang jadi ruang hidup serta merusak sumber air.

Adapun masyarakat adat yang menolak meliputi Gendang Lungar, Gendang Tere, Gendang Jong, Gendang Rebak, Gendang Cako, Gendang Ncamar, Gendang Nderu, Gendang Mori, Gendang Mocok, dan Gendang Mucu.

“Dari total populasi Poco Leok sekitar 3000 jiwa hanya 1 persen yang mendukung mereka itu orang berdarah Poco Leok tapi tinggal di luar Poco Leok. Mereka setuju karena bukan mereka yang nantinya terkena efek pengeboran panas bumi tapi kami yang tinggal di dalam,” ujar Masyudi, Koordinator Gerakan Tolak Geotermal Poco Leok.

Ancaman keselamatan jiwa juga muncul dari risiko kebocoran gas yang menyebabkan kematian dan keracunan di lokasi geothermal di tempat lain seperti Sorik Marapi dan Mataloko Ngada.

“Masyarakat Poco Leok tidak akan berkompromi dalam menghadapi potensi kerusakan terhadap lingkungan, tanah, air, dan kehidupan masyarakat. Tidak akan ada ruang untuk diskusi atau pendekatan kompromi selama rencana pengembangan geothermal ini masih ada,” cetus Masyudi.

“Walaupun ini proyek strategis nasional kami tetap melawan. Sampai kapan pun kami melawan. Aroma pelanggaran HAM proyek ini mulai terlihat. Perlawanan kami sudah berlangsung selama 2 tahun dan akan terus berlanjut,” lanjutnya.

 

Seorang ibu Poco Leok pingsan akibat didorong aparat

Photo :
  • Jo Kenaru

 

Penolakan warga Vs kekerasan aparat

Menurut laporan dari Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) SVD Ruteng, sebanyak 10 dari 14 gendang (komunitas adat) yang ada di Poco Leok telah menyatakan penolakan tegas terhadap proyek tersebut.

Sekitar 369 keluarga atau 1.632 jiwa menolak rencana pengembangan PLTP ini, karena khawatir akan dampak buruk yang mengancam ruang hidup mereka, termasuk kampung adat, kebun mata pencaharian, sumber air, dan pusat kehidupan adat.

JPIC SVD Ruteng melaporkan bahwa selama aksi pembukaan jalan, aparat kepolisian dari Polres Manggarai dan TNI terlibat dalam aksi kekerasan terhadap warga yang berusaha menghadang. Warga didorong, dipukuli, dan beberapa di antaranya ditangkap.

Wartawan yang getol menulis kekerasan aparat di Poco Leok diam-diam 'diincar'. Jurnalis Floresa.co disekap dalam mobil polisi, diborgol, serta dirampas tas dan ponselnya.

Insiden kekerasan ini menimbulkan trauma mendalam, terutama bagi seorang warga, Ponsianus Lewang, yang harus dilarikan ke rumah sakit karena cedera serius.