Refleksi 17 Tahun Bawaslu: Dari Pengawasan Pemilu Menuju Penguatan Demokrasi
- Jo Kenaru
NTT ViVa– Di tengah gegap gempita pesta demokrasi, di sela sorak-sorai dan spanduk yang berkibar di sudut-sudut kampung, ada satu lembaga yang terus bekerja dalam diam mengawasi, mencatat, dan menegakkan hukum pemilu. Lembaga itu bernama Bawaslu, sang penjaga demokrasi yang kini genap berusia 17 tahun.
Sejak kelahirannya pada 9 April 2008, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut demokrasi Indonesia. Usia 17 tahun, bagi manusia, adalah gerbang kedewasaan. Begitu pun bagi Bawaslu: inilah momen refleksi, kontemplasi, dan peneguhan kembali arah gerak dan arah juang. Dari sekadar pengawas pemilu, kini Bawaslu perlahan menjelma menjadi penguat utama sistem demokrasi elektoral di negeri ini.
Dari Tugas Pengawasan ke Kesadaran Demokrasi
Pada mulanya, peran Bawaslu dipahami secara sempit—sekadar menindak pelanggaran administratif atau menangani politik uang. Pada mulanya, pengawasan pemilu kerap dipandang sekadar sebagai pekerjaan teknis—memastikan bahwa aturan main dipatuhi, mencegah kecurangan, dan mencatat pelanggaran.
Dalam pandangan banyak orang, tugas pengawas pemilu seolah hanya hadir saat kampanye mulai menggeliat dan suara mulai dihitung. Namun seiring waktu, publik menyadari bahwa Bawaslu bukan sekadar wasit pertandingan, melainkan penjaga nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Ia bukan hanya hadir saat pemilu berlangsung, tetapi juga membangun fondasi yang kokoh agar proses demokrasi berjalan jujur, adil, dan beradab.
Pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu kini tidak lagi berhenti pada tindakan korektif, tetapi juga bersifat preventif dan edukatif. Sosialisasi, pendidikan politik, pelibatan masyarakat sipil, bahkan kerja sama dengan pegiat HAM dan media, telah menjadi bagian dari wajah baru pengawasan. Ini bukan sekadar soal menangkap pelanggaran, tetapi membangun kesadaran bahwa demokrasi adalah tanggung jawab bersama.
Bawaslu lahir dari rahim reformasi, pada masa ketika bangsa ini sedang mencari bentuk demokrasi yang sesuai dengan watak dan nilai-nilai kebangsaan. Sejak itu, tugas Bawaslu tak lagi hanya soal mengawasi peristiwa pemilu, tetapi juga soal membentuk perilaku, membangun kesadaran kolektif, dan mengedukasi publik bahwa demokrasi bukan sekadar event, melainkan proses peradaban. Di sinilah titik penting transformasi Bawaslu: dari sekadar lembaga pengawas, menjadi agen pembentuk budaya demokrasi.