Menghidupkan Api Marhaenisme: Seruan Ideologis Alumni GMNI di Tengah Badai Global
- Emanuel Suryadi
NTT ViVa– Di sebuah aula yang sederhana namun penuh semangat nasionalisme di jantung Ibu Kota, Jakarta, gema takbir Halal Bi Halal berpadu dengan doa yang melangit untuk seorang tokoh nasionalis sejati: Murdaya Widyawimarta Poo. Namun lebih dari sekadar mengenang, hari itu menjadi ruang perenungan kolektif, tempat para alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menyatukan kembali serpihan-serpihan ideologi yang mulai tergerus arus zaman.
"Situasi global yang mengkhawatirkan ini tidak bisa dijawab dengan pragmatisme sempit,” tegas Prof. Arief Hidayat, Ketua Umum PA GMNI, Sabtu, 12 April 2025, saat membuka pertemuan dengan nada yang menohok namun penuh harap. Di hadapan hadirin, ia mengajak bangsa ini kembali membuka lembaran warisan besar: jalan ideologis Bung Karno.
Jalan yang Pernah Ditempuh: Trisakti dan Marhaenisme Bung Karno, dengan Pancasila dan Trisaktinya, pernah menggurat arah bagi bangsa ini: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Gagasan yang bukan sekadar utopia, melainkan fondasi kokoh bagi sebuah bangsa yang ingin berdiri tegak di tengah badai globalisasi.
“Ramalan seorang guru besar dari Brazil mengatakan bahwa di abad ke-21, dunia akan mengalami polarisasi baru dan Indonesia akan menjadi salah satu porosnya, bersama China dan India,” tutur Arief dengan keyakinan, menyambung benang merah masa depan dengan kekuatan sejarah.
Namun menjadi besar bukanlah perkara ukuran, melainkan keberanian untuk tetap berpijak pada nilai. “Kita tidak bisa menjadi bangsa besar dengan nasionalisme sempit,” tandasnya. Di sinilah pentingnya kembali kepada Marhaen, simbol rakyat kecil yang tak hanya ditindas kapitalisme, tapi juga dilupakan dalam kebijakan.
“Saya pernah menyampaikan di forum internasional, ideologi Soekarno bukan sekadar milik Indonesia. Ia bisa menjadi ideologi dunia,” ungkap Arief, mengenang pengalamannya saat menjabat Presiden Mahkamah Konstitusi se-Asia.
Pancasila dan Marhaenisme, menurutnya, bisa menjadi jawaban atas kekosongan etik global. Di saat banyak bangsa terjebak dalam nasionalisme eksklusif dan kapitalisme rakus, Indonesia bisa hadir sebagai penengah yang menjunjung keadilan sosial dan solidaritas antarbangsa.