Konsep Kembali ke Fitrah 5 Agama Besar: Mencari Makna Sejati
- Freepik
Dalam ajaran Kong Hu Chu, manusia memiliki Ren (kebajikan) sebagai fitrahnya. Namun, sistem sosial dan pencarian status sering kali menjauhkan manusia dari kebajikan ini. Dalam era modern, manusia sibuk membangun citra sosial tetapi melupakan esensi moralitas dan hubungan yang harmonis. Kembali ke fitrah menurut Kong Hu Chu berarti menjalani hidup dengan keseimbangan (Li), menghormati nilai-nilai luhur, dan tidak tersesat dalam ambisi duniawi yang dangkal.
Dalam Filsafat Timur, pencarian makna menjadi pusat perjalanan manusia. Buddhismne mengajarkan agar manusia tak terombang-ambing persepsi dan bahwa setiap orang memiliki dharma masing-masing.
Ajaran mengenai Dharma juga ada pada Hinduisme. Di khazanah Muslim, setiap tahun penganutnya diingatkan untuk kembali ke fitrah; itulah kesejatian hidupnya sebagai manusia yang menang melawan hawa nafsu.
Sedangkan dalam Injil, ditulis perumpamaan tentang talenta yang dibekalkan berbeda-beda pada setiap orang agar masing-masing bisa mengembangkan keunikan diri berdasarkan talentanya. Bahkan di agama Nasrani diajarkan melakukan pelayanan kepada sesama.
Itu semua menggambarkan bagaimana agama-agama mengajak manusia untuk membaca dan menemukan makna hidup. Membaca kedalaman berarti menemukan makna. Itulah inti pencarian manusia.
Seperti yang dijelaskan Martin Heidegger dalam Being and Time (1927), makna adalah sesuatu yang akan kita temukan Ketika kita mampu melihat kedalaman dari hal yang bersifat permukaan. Untuk itu, makna menjadikan manusia autentik. Makna bukanlah persepsi, melainkan kebernilaian. Makna bukan tubuh kita, melainkan apa yang membuat kita menemukan jalan untuk 'being' bukan sekedar 'be'.
Manusia tak pernah jadi, melainkan selalu berada dalam proses kemenjadian. Era modern dipenuhi dengan pencarian identitas—siapa kita di mata dunia, bagaimana kita dikenal, apa yang kita capai. Namun, semakin kita mengejar label sosial, semakin kita terasing dari makna sejati hidup.