Jejak Kosmologi dalam Ruang: Dari Tekes ke Manggarai, Menyusuri Mandala Kehidupan
NTT ViVa– Di dunia yang terus bergerak tanpa jeda, ada dua tempat yang justru mengajarkan kita untuk berhenti sejenak, menatap bumi, dan membaca langit: Kabupaten Tekes, di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang di barat laut Tiongkok, dan Kabupaten Manggarai di Flores, Indonesia. Keduanya tampak begitu jauh secara geografis, namun diam-diam berbisik dalam bahasa yang sama bahasa tentang pusat dan keliling, keteraturan dan harmoni, hidup yang dijalani dalam lingkaran makna.
Dari udara, Tekes terlihat seperti lukisan kosmos yang hidup. Jalan-jalan utama menyebar dari satu titik pusat Tai Chi Plaza membentuk pola simetris seperti jaring-jaring cahaya yang menghubungkan manusia dengan semesta. Sementara di Manggarai, sawah-sawah membentang dalam pola lingko, menyerupai jari-jari roda yang mengalir dari sebuah pusat sakral yang disebut lodok. Lodok bukan sekadar titik, ia adalah nadi. Tempat adat, doa, dan musyawarah bertemu dalam satu irama.
Di dua ruang ini, kota dan ladang tak dibangun asal jadi. Ia dirancang dengan kesadaran filosofis, dengan pandangan kosmologis bahwa manusia bukan pusat dari segalanya tetapi bagian dari jaring kehidupan yang lebih besar. Tata letak kota dan pola sawah menjadi simbol. Mandala yang tidak hanya ditorehkan di atas kertas atau altar, tapi ditanam langsung ke dalam bumi, dan dihidupi hari demi hari.
Apa yang membuat ruang menjadi "hidup"? Barangkali bukan hanya tembok atau jalan, tapi makna yang terjalin di dalamnya. Di antara bayang-bayang Pegunungan Tianshan dan perbukitan lembah Cancar, manusia dari dua budaya berbeda sama-sama menulis peta hidup mereka dengan cara yang serupa: melalui geometri, melalui keteraturan, melalui rasa hormat terhadap tanah dan langit.
Mungkin, ini bukan tentang siapa meniru siapa. Tapi tentang bagaimana manusia di dua ujung dunia bisa tiba pada intuisi yang sama: bahwa hidup yang baik adalah hidup yang mengalir dalam keseimbangan.
Pemandangan Kota Tekes di China
- Xin Hua News