Sudahkah Hari Ini Anda Bahagia?: Renungan tentang Stoicism dan 5 Cara Menemukan Kebahagiaan Sejati
- Ilustrasi
NTT ViVa– Di tengah riuhnya notifikasi, tenggat waktu, dan keinginan untuk terus menjadi "lebih", sering kali kita lupa bertanya satu hal sederhana: sudahkah hari ini bahagia?
Pertanyaan itu, walau tampak remeh, sejatinya menyimpan kedalaman eksistensial. Di saat dunia berlomba menciptakan definisi-definisi baru tentang kesuksesan dan pencapaian, manusia modern justru kian sering kehilangan makna dari satu hal yang dicari semua orang: kebahagiaan.
Namun, dalam sunyi yang lain, dalam lembar-lembar usang yang ditinggalkan sejarah, Stoicism—sebuah aliran filsafat kuno dari Yunani—masih setia menawarkan jawabannya. Jawaban yang mungkin tak lantang, tapi justru itulah kekuatannya: tenang, jernih, dan membebaskan.
Kebahagiaan yang Tidak Dikejar
Stoicism, atau Stoikisme, bukan ajaran tentang menaklukkan dunia, tetapi tentang berdamai dengannya. Lahir dari serambi Stoa Poikile di Athena sekitar abad ke-3 SM, Zeno dari Citium merumuskan suatu cara hidup yang hari ini terasa lebih relevan dari sebelumnya.
Di dunia Stoik, kebahagiaan bukan sesuatu yang dicari di luar. Ia tumbuh dari dalam. Ia bukan hasil dari keberhasilan menguasai dunia, tetapi buah dari keberhasilan menguasai diri.
Marcus Aurelius, seorang kaisar yang juga filsuf, pernah menulis dalam Meditations-nya: “Kebahagiaan hidupmu tergantung pada kualitas pikiranmu.” Maka Stoikisme mengajarkan satu hal mendasar: bahwa kebahagiaan hanya bisa muncul bila kita tahu membedakan mana yang bisa kita kendalikan, dan mana yang tidak.