“Maaf Sekadar Mengingatkan": Wajah Lain Moralitas dan Kekuasaan dalam Percakapan Sehari-hari

Ilustrasi meminta maaf
Sumber :
  • Alleksana/ Pexel

NTT ViVa– Dalam lanskap percakapan sosial, terutama di media sosial, frasa “Maaf, sekadar mengingatkan” tampak sederhana. Seolah bermaksud baik, kalimat ini sering muncul sebagai pembuka kritik, teguran, bahkan celaan yang menyakitkan. Namun, di balik nuansa sopan yang dipilih, tersimpan hasrat kekuasaan atas moral orang lain, yang mencerminkan dinamika kompleks antara niat, kontrol sosial, dan dorongan bawah sadar manusia.

Mengenal Teori Lacan: Memahami Identitas Manusia dari Berbagai Perspektif

Fenomena ini mengundang perhatian para filsuf, psikolog, dan sosiolog, yang membaca kalimat itu tidak lagi sebagai sekadar ekspresi kebaikan hati, melainkan sebagai strategi—kadang manipulatif—untuk menyusupi ruang privat seseorang atas nama kebenaran dan norma sosial.

Filsafat Moral: Antara Etika dan Kekuasaan

Dalam perspektif filsafat moral, khususnya dari pemikiran Michel Foucault, frasa “Maaf sekadar mengingatkan” adalah bentuk mikro-kekuasaan. Bagi Foucault, kekuasaan tidak hanya ada dalam institusi seperti negara atau gereja, tetapi tersebar dalam praktik sehari-hari, termasuk dalam bahasa. “Bahasa yang tampaknya sopan ini bisa menjadi alat untuk mendisiplinkan tubuh dan pikiran orang lain,” tulis Foucault dalam Discipline and Punish (1975).

Putera Nagekeo U-14 Juara Ajang Bali 7s International Youth Tournament

Filsuf Immanuel Kant, di sisi lain, menekankan bahwa moralitas harus didasarkan pada prinsip imperatif kategoris, yakni memperlakukan orang lain sebagai tujuan, bukan alat. Ketika seseorang menggunakan “maaf sekadar mengingatkan” bukan untuk membangun, melainkan untuk menghakimi, maka ia telah menjadikan orang lain sebagai objek moralitas yang ia produksi sendiri—bukan sebagai subjek moral yang otonom.

Psikoanalisis: Agresi Tersembunyi dan Ego Moral

Menurut psikoanalisis Freudian, kalimat tersebut mencerminkan konflik antara id, ego, dan superego. Individu yang merasa terdorong untuk “mengingatkan” seringkali bertindak atas nama superego—bagian dari jiwa manusia yang menginternalisasi norma sosial. Namun, teguran yang dibungkus dengan kata sopan itu bisa menyimpan dorongan id, yaitu agresi dan keinginan untuk mengontrol.

Halaman Selanjutnya
img_title
Bejat! Oknum Polisi di Pacitan Perkosa Tahanan Perempuan Saat Sel Kosong